Wacana



Pendahuluan

Dalam sejarah telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama ssendiri: bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai sekarang seperti termuat dalam tidak hanya buku-buku polemis, tetapi juga buku ilmiah. Karena pandangan tersebut, masyarakat beragama menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: yaitu agama mereka sendiri. Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter. Oleh karena itu diperlukan suatu perspektif baru dalam melihat “apa yang dipikirkan oleh suatu agama mengenai agama lain dibandingkan dengan agama mereka sendiri”. Perspektif ini akan menentukan apakah seseorang beragama itu menganut suatu paham keagamaan yang ekskluif, inklusif atau pluralis.
Upaya untuk menumbuhkan sikap keberagamaan yang kristis, dialogis, pluralis dan transformatif yang mendukung nilai-nilai demokrasi dan penguatan civil society tampaknya harus mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Persoalan ini bukan hanya penting bagi umat beragama, tetapi juga penting bagi kehidupan kita sebagai sebuah bangsa mengingat Indonesia adalah bangsa yang plural dan beragam, baik dari segi etnis, budaya, maupun agama.
Sebagai agama mayoritas, Islam diharapkan mampu menjadi semacam penengah diantara umat agama-agama lain dan dituntut mampu mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak hanya peduli dengan kelomponya sendiri, tetapi juga peduli dengan kelompok agama lain yang hidup sebagai tetangga dan saudara sebangsa. Dalam hal ini, memandang agama lain sebagai sama-sama memiliki hak atas Tuhan dan kebenaran merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar.
Islam humanis sebagai bentuk nyata dai Islam rahmatan lil alamin harus diwujudkan di tanah air. Apalagi belakangan ada kecenderungan diantara umat Islam sendiri terjadi perbedaan yang sangat tajam, sehingga tak jarang menimbulkan bentrokan-bentrokan. Islam yang bersifat humanis akhirnya berubah menjadi Islam yang sangar, galak dan penuh kekerasan. Islam menjadi sangat menakutkan, bukan terhadap agama lain tetapi malah terhadap sesama penganut Islam sendiri.

1.Islam Dialogis Sebagai Sebuah Wacana Keislaman

Dalam Islam, benih-benih inklusivitas dan kritisisme agama itu sebenarnya sudah muncul sejak era Nabi Muhammmad SAW saat mendirikan negara Madinah bukan berdasrkan asas Islam, tetapi berdasarkan Piagam Madinah yang mengakui kebedaan agama-agama lain waktu itu, terutama Yahudi dan Kristen.
Tradisi berpikir kritis paca-Nabi Muhammad lalu diteruskan khalifah kedua ‘Umar Ibn al Khattab (586-644). Umar dikenal sebagai sahabat Nabi yang beriman teguh tetapi tidak intelektualitasnya berani mengemukakan ide-ide dan melaksanakan pelbagai tindakan inovatif yang sebelumnya tidak dicontohkan Nabi. Bahkan, kadang-kadang ide-ide dan tindakan itu sepintas lalu tampak seperti tidak sejalan, kalau bukan malah bertentangan dengan makna harfiah Kitab Suci.
Dari masa Umar, pemikiran Islam tetap terbuka hingga akhirnya muncul pertentangan antara para filsuf Muslim disatu sisi, dan para fuqaha’ di sisi yang lain, yang terjadi pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi. Puncak perdebatan adalah saat Inm Rusyd menulis Tahafut al-Tahafut yang diarahkan sebagai koreksi atas pandangan al-Ghazali yang tertuang dalam Tahafut al-Falasifah. Melalui karyanya itu, al-Ghazali mengkafirkan para filsuf Islam seperti Ibn Sina dan al-Farabi karena tiga hal. Pertama para filsuf berpendapat bahwa alam ini qadim. Kedua, Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang bersifat partikular. Ketiga penyangkalan mereka terhadap kebangkitan tubuh di akhirat. Selain itu karena paham para filsuf itu diambil dari filsafat Yunani-utamanya Aristoteles dan Plato, maka menurut al-Ghazali harus ditolak.
Dalam persaingan itu, akhirnya filsafat harus mengakui kekalahannya. Ini mengakibatkan filsafat menjadi tradisi nomor dua dalam dunia Islam, bahkan kadang-kadang tidak diakui. Kekalahan filsafat inilah yang menurut Mohammed Arkoun (1994), menyebabkan pemikiran Islam jatuh dalam kunkungan logosentrisme. Logosentrisme dalam pemikiran Islam memiliki ciri-ciri: pertama, pemikiran Islam dikuasai nalar yang dogmatis dan amat terkait kebenaran abadi (Tuhan). Jadi lebih bersifat estetis-etis ketimbang ilmiah. Kedua, nalar yang bertugas mengenali kembali kebenaran telah menjadi sempit dan hanya berkutat dalam wilayah tempat kelahirannya saja, misalnya dalam bidang mitafisika, teologi, moral dan hukum. Ketiga, dalam kegiatannya nalar banyak bertitik tolak dari rumusan-rumusan umum dan menggunakan metode analogi, implikasi, dan oposisi. Keempat, peningkatan data-data empiris yang sederhana sehingga berkaitan dengan kebenaran transedental. Ini dimaksudkan sebagai alat legitimasi bagi penafsiran sendiri dan karenanya menjadi alat apologi. Kelima, pemikiran Islam cenderung menutup diri dan tidak melihat matra kesejarahan, sosial, budaya, dan etnik sehingga cenderung menjadi satu-satunya wacana yang harus diikuti serta seragam dan memaksakan suatu tindakan peniruan buta (taqlid). Keenam, pemikiran Islam lebih mementingkan suatu wacana lahir yang terproyeksikan dalam ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaidah-kaidah bahasa, dan cenderung mengulang-ulang sesuatu yang lama. Sementara wacana batin yang melampaui batas-batas logosentris melalui pengalaman cinta dan maut, dalam arti kekayaan spritual, cenderung diabaikan.
Akibat budaya kritik epistemologis dalam wilayah keagamaan ini tidak tumbuh wajar dalam masyarakat muslim. maka ujungnya terjadi apa yang disebut sebagai proses penyakralan pemikiran keagamaan tertentu. Pemikiran keagamaaan dihasilkan pada masa tertentu lalu menjadi taken for granted, tidak boleh disentuh, tidak boleh dikupas, dan harus diakui kebenarannya apa adanya, tanpa diperlukan telaah serius terhadap latar belakang yang mendorong munculnya pemikiran keagamaan itu. Sikap inilah yang lau menyumbat budaya kritik yang sehat yang akhirnya melahirkan sikap-sikap ekstrem dan eksklusif dalam beragama. Dari sikap ini muncul sifat emosional dan tak terkendali dari umat beragama dengan dalih menyelamatkan agama dari musuh-musuh yang hendak menghancurkan agama.
Akibatnya pemikiran Islam terjebak dalam wacana apologis yang selalu membangga-banggakan kecemerlangan masa silam. Persolan ini diperparah adanya fakta, pemikiran Islam juga dikungkung kepentingan politik dan ekonomi, sehingga enggan bersikap kritis terhadap pemikiran yang dihasilkannya. Pembekuan ini pada gilirannya dilanjutkan dengan ketertutupan pemikiran dikalangan kaum muslim, dan pada puncaknya memunculkan jargon yang dikenal sebagai “pintu ijtihad telah ditutup”.
Untuk itu, agar umat Islam bisa keluar dari pemikiran keagamaan yang sempit dan eksklusif, diperlukan pemikiran ulang yang sanggup membaca sejarah secara objektif dan menafsirkan Kitab Suci secara lebih kritis dan terbuka tanpa terikat tafsir tertentu yang selama ini dianggap baku dan final serta “membuka kembali” pintu ijtihad yang selama ini dianggap sudah tertutup oleh sebagian kalangan.
Sebagai bangsa yang tengah belajar berdemokrasi dan menghargai perbedaan guna menumbuhkan sikap-sikap toleran, pluralis, dan kritis, Islam dialogis menjadi sebuah keniscayaan bagi bagi bangsa Indonesia. Sikap-sikap dialogis kaum muslin di Indonesia antara lain bisa diwujudkan dalam berbagai gagasan dan agenda untuk melakukan perubahan melalui dialog dan debat publik ketimbang melalui kekerasan; mendukung civil society melawan negara otoritarian devaluasi peran tokoh tunggal untuk mendukung kepemimpinan kolektif, toleransi terhadap keragaman sudut pandang, baik pada tingkat elite maupn massa, mengembangkan kesadaran yang melampaui divisi-divisi nasional, sektarian, dan divisi-divisi tradisional lainnya.
Dalam tataran yang lebih luas, nyata, dan praktis, Islam dialogis juga bisa diejawantahkan dalam bentuk dukungan terhadap aksi-aksi sosial demi kepentingan bersama yang tidak terbatas pada agenda agama, budaya atau politik kelompok tertentu, memberi dimensi spritual dalam kehidupan ploitik yang diekspresikan melalui pelaksanaan pemerintahan yang baik, jujur, adil dan taat hukum, menerjemahkan tugas-tugas etis dan religius menjadi prinsip-prinsip pertanggung jawaban dan partisipasi sosial, dan keterbukaan terhadap dialog global yang secara serius membahas otentis kultural, demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan kesejahteraan planet bumi serta kesejahteraan seluruh umat manusia di abad ke-21 ini.

2.Islam Pluralis Sebagai Alternatif Dalam Mengatasi Konlik antar Agama

Barangkali salah satu metode dalam rangka mengurangi terjadinya konflik antar agama di tanah air kita yang notabene pluralistik ini adalah dengan menghentikan klaim-klaim kebenaran (truth claim) dan doktrin penyelamatan yang berlebihan, berani mengoreksi diri atas keberagaman kita, menghilangkan cara pandang standart ganda yang seringkali kita terapkan terhadap agama orang lain, kemudian semakin memperluas pandangan inklusif yang mengarah pada pandangan teologi pluralis. Dari sanalah agama-agama memiliki peran nyata dalam menghadapi berbagai macam ancaman konflik sosial dan krisis multidimensi yang sedang melanda negara kita ini.
Pada saat ini kita sangat jelas berharap pada berkembangnya sebuah pandangan keagamaan yang progresif dan tidak sektarian. Pandangan keagamaan semacam ini akan membawa kita pada cara beragama yang liberal, inklusif dan pluralis, sehingga kita pun optimistis atas masa depan agama didepan hadangan perkembangan science modern yang menawarkan cara baru hidup bermasyarakat.
Pandangan progresif, liberal dan pluralistis ini pula yang akan menjadikan keagamaan seseorang tidak terpaku pada sangkar besi teologis yang tidak humanis, tetapi teologi yang mengutamakan kesalehan individual. Kesalehan individual inilah yang secara bertahap nemun pasti akan menjadi musuh besar kasalahan sosial.
Fenomena ramainya rumah-rumah ibadah oleh umat beragama, tetapi korupsi si negara ini menduduki peringkat pertama, adalah bukti bahwa tidak signifikannya antara kesalehan individual dengan keagamaan seseorang.
Seseorang yang beragama dan saleh secara individu ternyata tidak berperilaku saleh secara sosial. Oleh sebab itu, teologi progresif, liberal, dan pluralis harus mengarah pada berkembangnya kesalehan sosial umat beragama, karena disinilah sebenarnya kesadarn teologi menemukan rumusannya yang paling jelas.
Apa yang dilakukan PBNU dan Muhammadiyah untuk “bergandeng tangan” dalam merumuskan dan mengembangkan Islam yang berwajah santun, modern, responsif, dan ramah beberapa waktu lalu perlu disambut baik oleh banyak pihak. Tanpa sambutan banyak pihak, wacana dan praksis Islam toleran agaknya akan tertunda-tunda. Untuk menyambung rekonsiliasi NU-Muhammadiyah tersebut kita perlu membangun wacana Islam yang lebih toleran, inklusif, dan pluralis antara Islam dengan agama lain.
Munculnya corak keagamaan yang fundamentalis-radikal, harus dibarengi dengan semangat menumbuhkembangkan sikap toleran dan inklusif sebagai bentuk nyta dari Islam pluralis yang sangat sesuai dengan tujuan Islam sebagai rahmat untuk seluruh umat manusia. Tanpa semangat yang tinggi untuk mengembangkan wacana Islam yang lebih toleran dan inklusif niscaya Islam pluralis akan tumbuh dan berkembang.
Dengan mencoba secara sungguh-sungguh mengembangkan teologi toleran, maka keagamaan yang inklusif dan pluralis akan benar-benar menjadi wacana baru dan basis dalam perjuangan melawan segala bentuk kezaliman. Wacana baru itu berdasar teologi progresif, liberatif, yang tidak lagi tersekat oleh adanya simbol-simbol ritual agama-agama, namu tersatukan oleh kesadaran bersama universalitas nilai-nilai spritual esoteris agama-agama.

Islam Pluralis, Kuat di Visi Lemah di Aksi

Pemahaman Islam pluralis merujuk pada fenomena Islam yang melahirkan saling pengertian antaragama, terbuka, menghargai perbedaan dan semangat pembebasan. Secara konseptual Islam pluralis mendapat dukungan yang sangat kuat. Persoalan utamanya tidak terletak pada basis teologisnya tetapi pada impelementasi praktisnya (Budhy Munawar-Rachman, 2002).
Menurut Luthfi (2002), tanpa menafikan contoh-contoh historis dari penerapan pluralisme Islam sepanjang sejarah kaum Muslim, ia masih menganggap konsep ini telah memiliki justifikasi Islam, lemah dalam praktik. Hal itu terbukti karena konflik antaragama kerap muncul dalam berbagai bentuknya; dari yang paling radikal seperti "perang salib" di masa silam atau "kasus Ambon" di negara kita, hingga yang paling terselubung seperti kebencian satiristik yang diluapkan para penceramah.
Luthfi melihat ada tiga alasan mengapa konsep Islam pluralis dan Islam berlabel modern lainnya gagal ketika berhadapan dengan tataran praktis. Pertama, Islam Pluralis merupakan gagasan mewah yang berada jauh di luar kesadaran kognisi mayoritas kaum Muslim. Penyebabnya karena pemahaman terhadap konsep agama masih didominasi oleh penafsiran tradisional yang sempit dan eksklusif. Kedua, lemahnya sosialisasi gagasan pada tingkat metodologis dan teknis. Islam pluralis adalah gagasan yang datang dan dikembangkan dari kalangan elite-akademis. Tidak heran kalau Islam pluralis memiliki bahasa, istilah dan logika yang asing bagi kebanyakan orang. Padahal, masyarakat Indonesia cenderung berpikir simplisistik dan tampaknya memiliki gap dengan wacana pluralisme Islam. Ketiga, pluralisme pada tingkat iman atau antar agama merupakan konsekuensi dari sikap pluralis dalam tubuh internal kaum Muslim. Jika pada tingkat internal mereka tidak menerapkan atau menghayati nilai-nilai pluralisme, maka penerapannya pada tingkat yang lebih luas akan tampaknya terjadi dengan banyak komunitas Muslim dewasa ini.
Menurut Budhy (2002) bahwa perkembangan mengenai harmoni dan toleransi antarumat beragama yang ada masih sangat kuat sampai awal tahun 1990-an, namun mengalami krisis yang luar biasa dalam tiga tahun belakangan. Inilah salah satu alasan mengapa diperlukan pemikiran Islam yang pluralisme. Islam pluralis dari segi kematangan pemikirannya sendiri masih tumbuh. Bahkan, sekarang menjadi agenda penting, paling tidak orang menyadari biarlah agama lain menjadi dirinya sendiri. "Kebenaran itu sebenarnya bersifat relatif dan absolut, yakni bagaimana kita bisa mempertemukan ide-ide semacam itu. Tiap agama itu mempunyai kearifannya sendiri, kekayaan rohani yang luar biasa”.
  
Kesimpulan

Dalam upaya menumbuhkan tradisi keagamaan yang pluralis, dialogis mendukung nilai-nilai demokrasi dan HAM serta memperkuat civil society di Indonesia, setidaknya bisa dlakukan hal-hal sebagai berikut: (1) melakukan klarifikasi historis dengan memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam selama empat belas abad, serta membaca Al-Qur’an secara benar dan baru; (2) menyusun kembali secara menyeluruh syari’ah, bukan hanya sebagai norma-norma untuk menyusun tatanan sosial-politik yang ideal, tetapi lebih-lebih sebagai suatu sistem semiologis untuk merelevansikan wacana Al-Qur’an dengan perjalanan sejarah manusia dan masyarakat; (3) meniadakan dikotomi tradisional antara iman dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi, dan sebagainya demi keserasian antara teori dan praktik; (4) memperjuangkan suasana berpikir bebas dalam mencari kebenaran. Dengan demikian gagasan-gagasan yang muncul tidak terkungkung ketertutupan baru atau dalam peniruan-peniruan buta terhadap nilai-nilai yang ada.


Daftar Pustaka
Ismail, Faisal. 1999. Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah.Tiara wacana Yogyakarta.
Yunus, Muhammad. 2000. Pluralitas Agama dan Kekerasan Kolektif (Perspektif Sosiologi Agama). El Harakah.
Ruslani. 2002. Dari Islam Eksklusif ke Islam Dialogis. KCM. Edisi jum’at, 19 April 2002.
Rahman, Budhy Nunawar. 2002. Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama. Universtas Paramadina Mulya Jakarta.
Kompas Edisi 12 April 2001. Islam Pluralis Kuat di Visi Lemah di Aksi.

* Penulis Adalah Mahasiswa STITAF Siman Lamongan

Selamat Datang, Sugeng Rawuh, Welcome To My Blog's Waheb Abdellah Maduran Lamongan East Java

Wahida@13 April 2011. Diberdayakan oleh Blogger.