Membaca


IDEOLOGI SOSIALISME DAN KITA

I. Ideologi Sosialisme
Apakah ideologi sosialisme itu? Ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni idea (gagasan) dan logos (studi tentang, ilmu pengetahuan tentang). Idelogi artinya sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis dan sosial. Istilah ?ideologi? dipergunakan oleh Marx dan Engels mengacu kepada seperangkat keyakinan yang disajikan sebagai obyek. Obyek tersebut tidak lain adalah pencerminan kondisi-kondisi material masyarakat.
Sosialisme sebagai ideologi, telah lama berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Sosialisme sendiri berasal dari bahasa Latin yakni socius (teman). Jadi sosialisme merujuk kepada pengaturan atas dasar prinsip pengendalian modal, produksi dan kekayaan oleh kelompok.
Istilah sosialisme pertama kali dipakai di Prancis pada tahun 1831 dalam sebuah artikel tanpa judul oleh Alexander Vinet. Pada masa ini istilah sosialisme digunakan untuk pembedaan dengan indvidualisme, terutama oleh pengikut-pengikut Saint-Simon, bapak pendiri sosialisme Prancis. Saint-Simon lah yang menganjurkan pembaruan pemerintahan yang bermaksud mengembalikan harmoni pada masyarakat.
Pada akhir abad ke-19, Karl Marx dan Friedrich Engels mencetuskan apa yang disebut sebagai sosialisme ilmiah. Ini untuk membedakan diri dengan sosialisme yang berkembang sebelumnya. Marx dan Engels menyebut sosialisme tersebut dengan sosialisme utopia, artinya sosialisme yang hanya didasari impian belaka tanpa kerangka rasional untuk menjalankan dan mencapai apa yang disebut sosialisme. Oleh karena itu Marx dan Engels mengembangkan beberapa tesis untuk membedakan antara sosialisme dan komunisme. Menurut mereka, sosialisme adalah tahap yang harus dilalui masyarakat untuk mencapai komunisme. Dengan demikian komunisme atau masyarakat tanpa kelas adalah tujuan akhir sejarah. Konsekwensinya, tahap sosialisme adalah tahap kediktatoran rakyat untuk mencapai komunisme, seperti halnya pendapat Lenin yang mengatakan bahwa Uni Sovyet berada dalam tahap sosialisme.
Dalam perkembangannya hingga pertengahan abad ke-20, sosialisme memiliki beberapa cabang gagasan. Secara kasar pembagian tersebut terdiri dari pertama adalah Sosialisme Demokrasi, kedua adalah Marxisme Leninisme, Ketiga adalah anarkisme dan sindikalisme [lihat tabel]. Harus diakui bahwa pembagian ini sangatlah sederhana mengingat begitu banyak varian sosialisme yang tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Sebagai contoh Marxisme yang di satu sisi dalam penafsiran Lenin menjadi Komunisme dan berkembang menjadi Stalinisme dan Maoisme. Disisi lain Marxisme berkembang menjadi gerakan Kiri Baru dalam pemahaman para pemikir seperti Herbert Marcuse di era 1970an. Sama halnya dengan anarkisme yang terpecah menjadi beberapa aliran besar seperti anarkisme mutualis dengan bapak pendirinya yakni P J Proudhon dan anarkis kolektivis seperti Mikhail Bakunin. Anarkisme juga memberi angin bagi tumbuhnya gerakan gerakan sindikalis yang menguasai banyak pabrik di Barcelona semasa Perang Saudara Spanyol 1936-1939.
Hingga saat ini, partai-partai Sosial Demokrat masih tetap berdiri seperti halnya di Eropa seperti Jerman, Belanda, Norwegia dan Prancis. Beberapa yang menganut sosialisme juga seperti halnya partai-partai buruh seperti di Inggris dan Itali. Partai-partai Komunis banyak yang membubarkan diri atau bertahan dengan berganti nama dan mencoba untuk tetap hidup dengan ikut pemilu di negara-negara Eropa Timur setelah runtuhnya Uni Sovyet. Beberapa diantaranya bahkan bisa berkuasa kembali seperti di Polandia dan Ceko dengan jalan yang demokratis.
Uraian diatas menimbulkan banyak pertanyaan diantara kita, apakah Marxisme sebagai dasar sosialisme yang mengklaim dirinya ilmiah masih layak dipakai? Bagaimanakah masa depan sosialisme nantinya? Bagaimanakah peran ideologi dalam sebuah perjalanan bangsa?
II. Kegagalan Marxisme
Banyak diantara para pemikir sosialis maupun praktisi gerakan gerakan sosialisme masih mengandalkan Marxisme sebagai dasar pemikiran maupun gerakannya. Ada yang menggunakan Marxisme secara kritis akan tetapi ada juga yang secara dogmatis memujanya habis habisan hingga saat ini. Kecenderungan kecenderungan demikian terjadi tidak hanya di negara-negara Eropa akan tetapi juga di negara-negara dunia ketiga sepertihalnya Indonesia. Di Eropa, Marxisme digunakan sebagai alat analisa pemikiran, artinya peran Marxisme lebih berlaku pada perdebatan-perdebatan intelektual filsafat dalam melahirkan berbagai varian varian baru. Sementara di negara-negara dunia ketiga dimana tingkat kegiatan praksis sosialisme lebih berjalan, Marxisme masih menjadi ideologi dasar dan terutama bagi mereka yang baru saja lepas dari kungkungan rezim otoriter militeristik dimana Marxisme masih memukau seperti ?menemukan air ditengah dahaga ideologi? dengan teori-teori pembebasannya.
Harus diakui bahwa hampir satu abad Marxisme memberi kontribusi baik maupun buruk yang tak terhingga kepada dunia. Marxisme memberi peringatan kepada kita tentang bahaya kapitalisme industri dan menyadarkan kita tentang pentingnya kebersamaan manusia secara kolektif.
Meski demikian, Marxisme gagal untuk membuktikan teori-teorinya dan gagal pula didalam tingkatan yang lebih kongkret. Bubarnya Uni Sovyet, yang dikatakan masih berada dalam fase sosialis menuju masyarakat komunis adalah kegagalan Marxisme pada tingkatan tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa Marxisme gagal baik secara teori maupun prakteknya.
Kegagalan teoritis Marxisme yang pertama adalah tentang teori nilai lebih. Marx menafisrkan kapitalisme dengan teori lebih kerja sebagai suatu sistem eksploitasi kelas buruh oleh kaum kapitalis. Kaum kapitalis menyimpan bagi dirinya sendiri nilai lebih itu yang dihasilkan oleh kaum pekerja. Akumulasi dan konsentrasi kekayaan dalam tangan kelompok kapitalis yang jumlahnya semakin kecil, bersama dengan hukum kemunduran tingkat keuntungan, menuju kepada kehancuran diri sistem eksploitasi tersebut. Pada akhirnya menurut Marx, akan terjadi pengambil alihan oleh kelas buruh. Artinya kelas buruh (proletariat) memegang kendali sarana produksi dan untuk membangun kediktaturan proletariat sebagai tahap awal transisi menuju masyarakat tanpa kelas. Hal ini gagal karena kapitalisme tidaklah menyusut hingga masa sekarang. Kapitalisme sendiri bisa menyesuaikan perkembangan dengan memberi tuntutan tuntutan buruhnya di bawah standar. Hal ini terlihat seperti di Indonesia, kaum pekerja terjebak dan larut dalam tuntutan tuntutan upah minimum yang memang di rekayasa olah para kapitalis. Kaum buruh pun tidak pernah terjadi untuk mengambil alih kepemilikan kaum kapitalis secara ekonomis mengingat faktor faktor sekunder seperti politik memang tidak pernah diperhitungkan secara jelas dalam Marxisme.
Kegagalan Marxisme yang kedua adalah klaim tentang sosialisme ilmiah itu sendiri. Marx memang menolak sosialisme bentuk lama yang dikatakan utopis dan mencoba memberi kerangka rasional dalam gagasannya. Akan tetapi Marxisme juga tenggelam dalam mimpi utopiannya sendiri tentang masyarakat tanpa kelas. Mengapa? Sebab penentuan cita-cita akhir, bagaimanapun hakekatnya bertentangan langsung dengan prinsip dialektis yang didengungkan oleh Marx sendiri.
Kegagalan Marxisme yang ketiga adalah pemahaman yang dilanjutkan oleh Lenin dan Stalin telah berubah menjadi suatu kolektivisme sempit. Produksi barang material tidak lagi diarahkan kepada peningkatan keberadaan personal, melainkan kepada pertumbuhan kekuasaan kolektif tersebut.
Bukti paling kongkret dari kegagalan kegagalan diatas adalah bubarnya negara Uni Sovyet yang selama 70 tahun lebih memakan korban jutaan warganya. Prinsip sosialisme sebagai kebersamaan sangatlah penting, meski demikian kita juga tidak bisa mengingkari hak hak azasi yang paling pribadi sebagai manusia dalam kerangka nilai etis. Fase kediktaturan proletarian yang sama otoriternya dengan fasisme jelas tidak bisa diterima bahkan oleh warganya sekalipun.
III. Kritik Anarkisme
Anarkisme sendiri sering disalahartikan sebagai kekacauan (chaos) yang berdampak penghancuran kepada masyarakat. Hal ini dimaklumi bahwa orang jarang mengenal gagasan-gagasan anarkisme yang dibawa oleh Pierre Joseph Proudhon, Mikhail Bakunin, Piotr Kropotkin dan lainnya. Ini disebabkan anarkisme memang bukan ideologi terstruktur seperti halnya sosialisme atau komunisme. Pada awal abad ke-19 anarkisme tumbuh dan menjadi lawan bagi Marxisme, karena klaim anarkisme yang libertarian berhadapan dengan Marxisme yang otoriterian. Baik anarkisme maupun Marxisme pada masa itu sepakat bahwa sebuah revolusi dibutuhkan untuk menumbangkan pemerintah borjuis. Akan tetapi para pengikut Marx menginginkan Negara digunakan sebagai sarana kediktaturan proletariat dan baru akan dibubarkan bila fase komunisme yakni masyarakat tanpa kelas sudah terwujud. Kaum anarkis justru menginginkan Negara harus dibubarkan sedari awal. Mereka berkeyakinan bahwa pengambil alihan kekuasaan dengan membiarkan Negara berdiri hanya akan melestarikan dan membuat kekuasaan yang jauh lebih sulit untuk ditumbangkan.
Pada tulisan ini, hanya akan dibahas kritik anarkisme terhadap demokrasi, khususnya seperti yang diungkapkan oleh George Woodcock dan Noam Chomsky pada dekade akhir abad 20. Menurut kaum anarkis, demokrasi adalah hal yang terbaik diantara semua yang terburuk. Demokrasi, kalau pun mau digunakan, haruslah dalam bentuk langsung dan partisipatoris. Artinya, demokrasi yang benar benar melibatkan seluruh peran warga masyarakat dalam menjalan fungsinya.
Ada beberapa kritik anarkisme terhadap demokrasi. Pertama, pemilu sebagai sarana demokrasi dianggap melenyapkan hak hak individu. Sebagai contoh, orang akan memilih wakil wakilnya yang tidak dikenal dan belum tentu menjalankan aspirasi si pemilih. Hal ini akan terus berulang dalam setiap pemilu berikutnya dan menjadi suatu kebiasaan yang buruk bagi kesadaran setiap orang. Oleh karena itu kaum anarkis menolak bentuk perwakilan (representation) dan menyukai bentuk pendelegasian bagi setiap keputusan atau kepentingan karena dirasa lebih menyeluruh.
Kritik kedua, demokrasi mengandung ancaman berupa kediktaturan mayoritas. Bagi kaum anarkis tidak ada jaminan bagi para pemeluk demokrasi terhadap golongan minoritas atau kelompok kecil. Hal ini seringkaliterjadi berupa pengabaian hak hak minoritas suara baik dalam bentuk populasi suku, agama, ras, maupun kebudayaan.
Kritik ketiga, demokrasi mengandung bahaya kongkret yakni diterimanya kembali kelompok-kelompok otoriterian seperti partai komunis untuk mendapat peluang menang secara demokratis dalam pemilu. Hal ini terbukti dalam pemilu di Polandia dan Ceko dimana partai komunis kembali memerintah dengan suara mayoritas. Jika demikian, ancaman yang akan terjadi adalah penumbangan demokrasi itu sendiri oleh kelompok-kelompok otoriterian.
IV. Masa Depan Indonesia
Dari tulisan diatas jelaslah sangat penting sebuah ideologi untuk bisa dipahami dengan kesadaran rasional dan dimiliki sebagai sebuah pijakan langkah kedepan bagi perkembangan sebuah masyarakat. Ideologi tidak bisa dipahami secara buta dan dogmatis, karena masyarakat terus berubah dan berkembang sesuai dengan situasinya baik secara subyektif maupun obyektif. Secara subyektif, kesadaran masyarakat memang harus dibangun. Problem di Indonesia untuk hal ini adalah pemahaman ideologi bukanlah di pelajari secara rasional, melainkan sekedar penerimaan warisan tradisi akan pergerakan politik yang mengatasnamakan ideologi. Orang lebih cenderung mengidentifikasi atau menolak dirinya sebagai sebuah penganut ideologi tertentu bukan karena ia belajar memahami nilai ideologi tersebutsecara rasional, melainkan karena faktor sejarah dan kepentingan yang lebih dominan terhadap dirinya. Demikian pula secara obyektif, problem yang ada dimasyarakat seperti saat ini tentunya juga butuh sebuah keyakinan yang kuat terhadap cita cita perubahan. Ideologi sebagai sebuah cita cita haruslah bisa diandalkan dan dipercaya untuk bisa memberi jalan terhapa permasalahan tersebut.
Maka meski dengan usia baru 100 tahun sejak para founding fathers seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lainnya, Republik Indonesia boleh dibilang sangatlah miskin akan pemahaman ideologi yang berkelanjutan. Orang lebih senang melihat figur tertentu untuk tampil ke panggung politik bila dibandingkan tahu secara jelas pemikiran pemikiran macam apa yang dihasilkan oleh figur tersebut. Inilah yang disebut favoritisme, seperti halnya yang terjadi di Amerika Latin pada abad ke 19 dimana banyak junta militer jatuh bangun berkuasa silih berganti.
Sosialisme sebagai ideologi yang telah menjadi pilihan kita, tentunya juga harus dipahami dan dijalankan dalam konteks nalar yang rasional. Artinya, mengetahui dan meyakini sosialisme bukanlah sekedar memahami sejarah, mendogmakan pemikiran lampau dan enggan lepas dari pewarisan tradisi yang sudah ada. Sosialisme harus mampu menjawab berbagai tantangan perkembangan masyarakat dan zaman yang kini sedang terjadi. Seperti halnya problem lingkungan hidup, kemanusiaan, gender dan nilai etis moral lainnya yang pada dekade lalu belum dianggap sebagai suatu hal yang sangat penting. Oleh karena itu Sosialisme yang harus diperjuangkan adalah sosialisme yang benar-benar mengakui nilai nilai kemanusiaan, sosialisme yang benar-benar kerakyatan dalam arti mampu secara maksimal memberi rasa keadilan terhadap masyarakat dan sosialisme yang secara sungguh-sungguh tumbuh karena gagasan-gagasan mulia, bukan sekedar jargon masa lalu.
Sumbangan sosialisme tradisional seperti Marxisme dan kritik anarkisme terhadap demokrasi tentunya juga merupakan hal yang patut untuk diperhatikan. Demokrasi telah menjadi pilihan kita dan kita secara sadar paham segala kemungkinan penyimpangan-penyimpangannya. Penyalahgunaan kekuasaan, pengatasnamaan hukum, konflik kepentingan mayoritas?minoritas, adalah hal-hal yang telah tampak di depan mata. Indonesia memang sedang dalam masa transisi. Hal inilah yang harus benar benar dijaga dan diperhatikan agar perubahan yang sekarang terjadi tidak akan salah arah dalam proses berdemokrasi sebagai pelajaran pertama menuju masyarakat yang adil dan makmur.
T O P I K
SOSIALISME DEMOKRASI
MARXISME LENINISME
ANARKISME &SINDIKALISME
Perubahan
Sebuah perubahan dilakukan dengan cara bertahap (gradual)
Sebuah perubahan dilakukan dengan cara drastis (revolusioner)
Sebuah perubahan dilakukan dengan cara drastis (revolusioner)
Cara melakukan Perubahan
perubahan dilakukan dengan membentuk partai dan ikut ke dalam parlemen
Perubahan dilakukan dengan membentuk partai dan kediktaturan
Perubahan dilakukan dengan menolak partai dan Negara
Negara
Negara dibutuhkan untuk menjamin fungsi keadilan
Negara diterima sebagai fase sosialis dan dibubarkan dalam fase komunis
Negara ditolak dan tidak diperlukan
Pengawasan
Masyarakat mengontrol Negara
Negara mengontrol Masyarakat
Masyarakat mengontrol dirinya sendiri
Sistem Politik
Parlementarian
Otoriterianisme
Libertarianisme
Massa
Massa terdiri dari kader partai
Massa dibentuk oleh kader partai yang bertindak sebagai pelopor
Massa adalah anonim dan bergerak atas inisiatif spontan
Demokrasi
Demokrasi adalah cara mencapai tujuan sosialisme
Demokrasi sebagai salah satu jalan revolusi sosialis menuju komunisme
Demokrasi ditolak sebagai wujud mayoritas otoriter
Individu
Individu diikat tetapi tetap diberi ruang
Individu lebur kedalam kolektif
Individu punya titik ekstrim tersendiri
Ekonomi
Tema utama adalah keadilan sosial
Tema utama adalah ekonomi terpimpin
Tema utama adalah ekonomi secara praksis dan anti politik
Hukum
Supremasi Hukum
Otoriter
Anti Hukum
Tujuan Akhir
Masyarakat Adil Makmur (welfare society)
Masyarakat Tanpa Kelas
Masyarakat Tanpa Negara


 
ISLAM DAN DEMOKRASI

Pendahuluan
Dalam sejarah telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama ssendiri: bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai sekarang seperti termuat dalam tidak hanya buku-buku polemis, tetapi juga buku ilmiah. Karena pandangan tersebut, masyarakat beragama menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: yaitu agama mereka sendiri. Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter. Oleh karena itu diperlukan suatu perspektif baru dalam melihat “apa yang dipikirkan oleh suatu agama mengenai agama lain dibandingkan dengan agama mereka sendiri”. Perspektif ini akan menentukan apakah seseorang beragama itu menganut suatu paham keagamaan yang ekskluif, inklusif atau pluralis.
Upaya untuk menumbuhkan sikap keberagamaan yang kristis, dialogis, pluralis dan transformatif yang mendukung nilai-nilai demokrasi dan penguatan civil society tampaknya harus mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan. Persoalan ini bukan hanya penting bagi umat beragama, tetapi juga penting bagi kehidupan kita sebagai sebuah bangsa mengingat Indonesia adalah bangsa yang plural dan beragam, baik dari segi etnis, budaya, maupun agama.
Sebagai agama mayoritas, Islam diharapkan mampu menjadi semacam penengah diantara umat agama-agama lain dan dituntut mampu mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak hanya peduli dengan kelomponya sendiri, tetapi juga peduli dengan kelompok agama lain yang hidup sebagai tetangga dan saudara sebangsa. Dalam hal ini, memandang agama lain sebagai sama-sama memiliki hak atas Tuhan dan kebenaran merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar.
Islam humanis sebagai bentuk nyata dai Islam rahmatan lil alamin harus diwujudkan di tanah air. Apalagi belakangan ada kecenderungan diantara umat Islam sendiri terjadi perbedaan yang sangat tajam, sehingga tak jarang menimbulkan bentrokan-bentrokan. Islam yang bersifat humanis akhirnya berubah menjadi Islam yang sangar, galak dan penuh kekerasan. Islam menjadi sangat menakutkan, bukan terhadap agama lain tetapi malah terhadap sesama penganut Islam sendiri.
  1. Islam Dialogis Sebagai Sebuah Wacana Keislaman
Dalam Islam, benih-benih inklusivitas dan kritisisme agama itu sebenarnya sudah muncul sejak era Nabi Muhammmad SAW saat mendirikan negara Madinah bukan berdasrkan asas Islam, tetapi berdasarkan Piagam Madinah yang mengakui kebedaan agama-agama lain waktu itu, terutama Yahudi dan Kristen.
Tradisi berpikir kritis paca-Nabi Muhammad lalu diteruskan khalifah kedua ‘Umar Ibn al Khattab (586-644). Umar dikenal sebagai sahabat Nabi yang beriman teguh tetapi tidak intelektualitasnya berani mengemukakan ide-ide dan melaksanakan pelbagai tindakan inovatif yang sebelumnya tidak dicontohkan Nabi. Bahkan, kadang-kadang ide-ide dan tindakan itu sepintas lalu tampak seperti tidak sejalan, kalau bukan malah bertentangan dengan makna harfiah Kitab Suci.
Dari masa Umar, pemikiran Islam tetap terbuka hingga akhirnya muncul pertentangan antara para filsuf Muslim disatu sisi, dan para fuqaha’ di sisi yang lain, yang terjadi pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi. Puncak perdebatan adalah saat Inm Rusyd menulis Tahafut al-Tahafut yang diarahkan sebagai koreksi atas pandangan al-Ghazali yang tertuang dalam Tahafut al-Falasifah. Melalui karyanya itu, al-Ghazali mengkafirkan para filsuf Islam seperti Ibn Sina dan al-Farabi karena tiga hal. Pertama para filsuf berpendapat bahwa alam ini qadim. Kedua, Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang bersifat partikular. Ketiga penyangkalan mereka terhadap kebangkitan tubuh di akhirat. Selain itu karena paham para filsuf itu diambil dari filsafat Yunani-utamanya Aristoteles dan Plato, maka menurut al-Ghazali harus ditolak.
Dalam persaingan itu, akhirnya filsafat harus mengakui kekalahannya. Ini mengakibatkan filsafat menjadi tradisi nomor dua dalam dunia Islam, bahkan kadang-kadang tidak diakui. Kekalahan filsafat inilah yang menurut Mohammed Arkoun (1994), menyebabkan pemikiran Islam jatuh dalam kunkungan logosentrisme. Logosentrisme dalam pemikiran Islam memiliki ciri-ciri: pertama, pemikiran Islam dikuasai nalar yang dogmatis dan amat terkait kebenaran abadi (Tuhan). Jadi lebih bersifat estetis-etis ketimbang ilmiah. Kedua, nalar yang bertugas mengenali kembali kebenaran telah menjadi sempit dan hanya berkutat dalam wilayah tempat kelahirannya saja, misalnya dalam bidang mitafisika, teologi, moral dan hukum. Ketiga, dalam kegiatannya nalar banyak bertitik tolak dari rumusan-rumusan umum dan menggunakan metode analogi, implikasi, dan oposisi. Keempat, peningkatan data-data empiris yang sederhana sehingga berkaitan dengan kebenaran transedental. Ini dimaksudkan sebagai alat legitimasi bagi penafsiran sendiri dan karenanya menjadi alat apologi. Kelima, pemikiran Islam cenderung menutup diri dan tidak melihat matra kesejarahan, sosial, budaya, dan etnik sehingga cenderung menjadi satu-satunya wacana yang harus diikuti serta seragam dan memaksakan suatu tindakan peniruan buta (taqlid). Keenam, pemikiran Islam lebih mementingkan suatu wacana lahir yang terproyeksikan dalam ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaidah-kaidah bahasa, dan cenderung mengulang-ulang sesuatu yang lama. Sementara wacana batin yang melampaui batas-batas logosentris melalui pengalaman cinta dan maut, dalam arti kekayaan spritual, cenderung diabaikan.
Akibat budaya kritik epistemologis dalam wilayah keagamaan ini tidak tumbuh wajar dalam masyarakat muslim. maka ujungnya terjadi apa yang disebut sebagai proses penyakralan pemikiran keagamaan tertentu. Pemikiran keagamaaan dihasilkan pada masa tertentu lalu menjadi taken for granted, tidak boleh disentuh, tidak boleh dikupas, dan harus diakui kebenarannya apa adanya, tanpa diperlukan telaah serius terhadap latar belakang yang mendorong munculnya pemikiran keagamaan itu. Sikap inilah yang lau menyumbat budaya kritik yang sehat yang akhirnya melahirkan sikap-sikap ekstrem dan eksklusif dalam beragama. Dari sikap ini muncul sifat emosional dan tak terkendali dari umat beragama dengan dalih menyelamatkan agama dari musuh-musuh yang hendak menghancurkan agama.
Akibatnya pemikiran Islam terjebak dalam wacana apologis yang selalu membangga-banggakan kecemerlangan masa silam. Persolan ini diperparah adanya fakta, pemikiran Islam juga dikungkung kepentingan politik dan ekonomi, sehingga enggan bersikap kritis terhadap pemikiran yang dihasilkannya. Pembekuan ini pada gilirannya dilanjutkan dengan ketertutupan pemikiran dikalangan kaum muslim, dan pada puncaknya memunculkan jargon yang dikenal sebagai “pintu ijtihad telah ditutup”.
Untuk itu, agar umat Islam bisa keluar dari pemikiran keagamaan yang sempit dan eksklusif, diperlukan pemikiran ulang yang sanggup membaca sejarah secara objektif dan menafsirkan Kitab Suci secara lebih kritis dan terbuka tanpa terikat tafsir tertentu yang selama ini dianggap baku dan final serta “membuka kembali” pintu ijtihad yang selama ini dianggap sudah tertutup oleh sebagian kalangan.
Sebagai bangsa yang tengah belajar berdemokrasi dan menghargai perbedaan guna menumbuhkan sikap-sikap toleran, pluralis, dan kritis, Islam dialogis menjadi sebuah keniscayaan bagi bagi bangsa Indonesia. Sikap-sikap dialogis kaum muslin di Indonesia antara lain bisa diwujudkan dalam berbagai gagasan dan agenda untuk melakukan perubahan melalui dialog dan debat publik ketimbang melalui kekerasan; mendukung civil society melawan negara otoritarian devaluasi peran tokoh tunggal untuk mendukung kepemimpinan kolektif, toleransi terhadap keragaman sudut pandang, baik pada tingkat elite maupn massa, mengembangkan kesadaran yang melampaui divisi-divisi nasional, sektarian, dan divisi-divisi tradisional lainnya.
Dalam tataran yang lebih luas, nyata, dan praktis, Islam dialogis juga bisa diejawantahkan dalam bentuk dukungan terhadap aksi-aksi sosial demi kepentingan bersama yang tidak terbatas pada agenda agama, budaya atau politik kelompok tertentu, memberi dimensi spritual dalam kehidupan ploitik yang diekspresikan melalui pelaksanaan pemerintahan yang baik, jujur, adil dan taat hukum, menerjemahkan tugas-tugas etis dan religius menjadi prinsip-prinsip pertanggung jawaban dan partisipasi sosial, dan keterbukaan terhadap dialog global yang secara serius membahas otentis kultural, demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan kesejahteraan planet bumi serta kesejahteraan seluruh umat manusia di abad ke-21 ini.
  1. Islam Pluralis Sebagai Alternatif Dalam Mengatasi Konlik antar Agama
Barangkali salah satu metode dalam rangka mengurangi terjadinya konflik antar agama di tanah air kita yang notabene pluralistik ini adalah dengan menghentikan klaim-klaim kebenaran (truth claim) dan doktrin penyelamatan yang berlebihan, berani mengoreksi diri atas keberagaman kita, menghilangkan cara pandang standart ganda yang seringkali kita terapkan terhadap agama orang lain, kemudian semakin memperluas pandangan inklusif yang mengarah pada pandangan teologi pluralis. Dari sanalah agama-agama memiliki peran nyata dalam menghadapi berbagai macam ancaman konflik sosial dan krisis multidimensi yang sedang melanda negara kita ini.
Pada saat ini kita sangat jelas berharap pada berkembangnya sebuah pandangan keagamaan yang progresif dan tidak sektarian. Pandangan keagamaan semacam ini akan membawa kita pada cara beragama yang liberal, inklusif dan pluralis, sehingga kita pun optimistis atas masa depan agama didepan hadangan perkembangan science modern yang menawarkan cara baru hidup bermasyarakat.
Pandangan progresif, liberal dan pluralistis ini pula yang akan menjadikan keagamaan seseorang tidak terpaku pada sangkar besi teologis yang tidak humanis, tetapi teologi yang mengutamakan kesalehan individual. Kesalehan individual inilah yang secara bertahap nemun pasti akan menjadi musuh besar kasalahan sosial.
Fenomena ramainya rumah-rumah ibadah oleh umat beragama, tetapi korupsi si negara ini menduduki peringkat pertama, adalah bukti bahwa tidak signifikannya antara kesalehan individual dengan keagamaan seseorang.
Seseorang yang beragama dan saleh secara individu ternyata tidak berperilaku saleh secara sosial. Oleh sebab itu, teologi progresif, liberal, dan pluralis harus mengarah pada berkembangnya kesalehan sosial umat beragama, karena disinilah sebenarnya kesadarn teologi menemukan rumusannya yang paling jelas.
Apa yang dilakukan PBNU dan Muhammadiyah untuk “bergandeng tangan” dalam merumuskan dan mengembangkan Islam yang berwajah santun, modern, responsif, dan ramah beberapa waktu lalu perlu disambut baik oleh banyak pihak. Tanpa sambutan banyak pihak, wacana dan praksis Islam toleran agaknya akan tertunda-tunda. Untuk menyambung rekonsiliasi NU-Muhammadiyah tersebut kita perlu membangun wacana Islam yang lebih toleran, inklusif, dan pluralis antara Islam dengan agama lain.
Munculnya corak keagamaan yang fundamentalis-radikal, harus dibarengi dengan semangat menumbuhkembangkan sikap toleran dan inklusif sebagai bentuk nyta dari Islam pluralis yang sangat sesuai dengan tujuan Islam sebagai rahmat untuk seluruh umat manusia. Tanpa semangat yang tinggi untuk mengembangkan wacana Islam yang lebih toleran dan inklusif niscaya Islam pluralis akan tumbuh dan berkembang.
Dengan mencoba secara sungguh-sungguh mengembangkan teologi toleran, maka keagamaan yang inklusif dan pluralis akan benar-benar menjadi wacana baru dan basis dalam perjuangan melawan segala bentuk kezaliman. Wacana baru itu berdasar teologi progresif, liberatif, yang tidak lagi tersekat oleh adanya simbol-simbol ritual agama-agama, namu tersatukan oleh kesadaran bersama universalitas nilai-nilai spritual esoteris agama-agama.
D. Islam Pluralis, Kuat di Visi Lemah di Aksi
Pemahaman Islam pluralis merujuk pada fenomena Islam yang melahirkan saling pengertian antaragama, terbuka, menghargai perbedaan dan semangat pembebasan. Secara konseptual Islam pluralis mendapat dukungan yang sangat kuat. Persoalan utamanya tidak terletak pada basis teologisnya tetapi pada impelementasi praktisnya (Budhy Munawar-Rachman, 2002).
Menurut Luthfi (2002), tanpa menafikan contoh-contoh historis dari penerapan pluralisme Islam sepanjang sejarah kaum Muslim, ia masih menganggap konsep ini telah memiliki justifikasi Islam, lemah dalam praktik. Hal itu terbukti karena konflik antaragama kerap muncul dalam berbagai bentuknya; dari yang paling radikal seperti "perang salib" di masa silam atau "kasus Ambon" di negara kita, hingga yang paling terselubung seperti kebencian satiristik yang diluapkan para penceramah.
Luthfi melihat ada tiga alasan mengapa konsep Islam pluralis dan Islam berlabel modern lainnya gagal ketika berhadapan dengan tataran praktis. Pertama, Islam Pluralis merupakan gagasan mewah yang berada jauh di luar kesadaran kognisi mayoritas kaum Muslim. Penyebabnya karena pemahaman terhadap konsep agama masih didominasi oleh penafsiran tradisional yang sempit dan eksklusif. Kedua, lemahnya sosialisasi gagasan pada tingkat metodologis dan teknis. Islam pluralis adalah gagasan yang datang dan dikembangkan dari kalangan elite-akademis. Tidak heran kalau Islam pluralis memiliki bahasa, istilah dan logika yang asing bagi kebanyakan orang. Padahal, masyarakat Indonesia cenderung berpikir simplisistik dan tampaknya memiliki gap dengan wacana pluralisme Islam. Ketiga, pluralisme pada tingkat iman atau antar agama merupakan konsekuensi dari sikap pluralis dalam tubuh internal kaum Muslim. Jika pada tingkat internal mereka tidak menerapkan atau menghayati nilai-nilai pluralisme, maka penerapannya pada tingkat yang lebih luas akan tampaknya terjadi dengan banyak komunitas Muslim dewasa ini.
Menurut Budhy (2002) bahwa perkembangan mengenai harmoni dan toleransi antarumat beragama yang ada masih sangat kuat sampai awal tahun 1990-an, namun mengalami krisis yang luar biasa dalam tiga tahun belakangan. Inilah salah satu alasan mengapa diperlukan pemikiran Islam yang pluralisme. Islam pluralis dari segi kematangan pemikirannya sendiri masih tumbuh. Bahkan, sekarang menjadi agenda penting, paling tidak orang menyadari biarlah agama lain menjadi dirinya sendiri. "Kebenaran itu sebenarnya bersifat relatif dan absolut, yakni bagaimana kita bisa mempertemukan ide-ide semacam itu. Tiap agama itu mempunyai kearifannya sendiri, kekayaan rohani yang luar biasa”.

E. Kesimpulan

Dalam upaya menumbuhkan tradisi keagamaan yang pluralis, dialogis mendukung nilai-nilai demokrasi dan HAM serta memperkuat civil society di Indonesia, setidaknya bisa dlakukan hal-hal sebagai berikut: (1) melakukan klarifikasi historis dengan memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam selama empat belas abad, serta membaca Al-Qur’an secara benar dan baru; (2) menyusun kembali secara menyeluruh syari’ah, bukan hanya sebagai norma-norma untuk menyusun tatanan sosial-politik yang ideal, tetapi lebih-lebih sebagai suatu sistem semiologis untuk merelevansikan wacana Al-Qur’an dengan perjalanan sejarah manusia dan masyarakat; (3) meniadakan dikotomi tradisional antara iman dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi, dan sebagainya demi keserasian antara teori dan praktik; (4) memperjuangkan suasana berpikir bebas dalam mencari kebenaran. Dengan demikian gagasan-gagasan yang muncul tidak terkungkung ketertutupan baru atau dalam peniruan-peniruan buta terhadap nilai-nilai yang ada.

F. Daftar Pustaka

Ismail, Faisal. 1999. Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah.Tiara wacana Yogyakarta.
Yunus, Muhammad. 2000. Pluralitas Agama dan Kekerasan Kolektif (Perspektif Sosiologi Agama). El Harakah.
Ruslani. 2002. Dari Islam Eksklusif ke Islam Dialogis. KCM. Edisi jum’at, 19 April 2002.
Rahman, Budhy Nunawar. 2002. Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama. Universtas Paramadina Mulya Jakarta.
Kompas Edisi 12 April 2001. Islam Pluralis Kuat di Visi Lemah di Aksi.




Sejarah Desa Maduran



Desa yang terletak di utara Bantaran Bengawan solo, dengan luas desa hampir 10 hektar ini, adalah pusat pemerintahan di wilayah Kecamatan maduran, desa yang dulu adalah salah satu desa yang perna ditempati oleh belanda. kini menjadi sebuah desa yang maju dan asri. tidak dipungkiri lagi.. semua adalah berkat usaha dan jerih payah oleh nenek moyang kita terdahulu, dulu konon menurut cerita dari beberapa orang tua yang menyaksikan sejarah desa maduran. adalah sebuah wilayah yang perna ditinggali oleh orang Asli Madura, dengan menaiki perahu dari pulau madura, dia tinggal beberapa tahun diwilayah ini, hingga pada ahirnnya enta karena apa,,, dia kembali lagi ke madura, tetap dia menaiki perahu yang sebelumnya dinaiki dia.. di bantu warga yang sudah akrap dengannya,perahu yang sebelumnya rusak diperbaiki dan pada ahirnya perahu tersebut bisa dinaikinnya lagi. selang kemudian dia berangkat pulang kembali ke madura...
memang berat untuk warga melepaskan dia kembali ke madura.. tapi mau bagaimana lagi... ini sudah menjadi keputusan beliau.
hingga pada ahirnya warga  bersepakat untuk mengabadikannya, dalam simbol desa ada perahu layar yang diatasnya terdapat bintang kejora, dan kini anda bisa lihat digapura masuk desa.... dengan nama MADURAN. adalah sejarah yang terpendam dalam benak warga sekitar maduran saat ini.... semoga saja..
karna sejarah adalah harta yang berharga.....






Selamat Datang, Sugeng Rawuh, Welcome To My Blog's Waheb Abdellah Maduran Lamongan East Java

Wahida@13 April 2011. Diberdayakan oleh Blogger.