Guestbook

Apa saja yang dikomersialkan pasti turun mutunya”- Jalaluddin Rakhmat.
Sebuah gelar akademis meiliki makna yang sangat penting. Gelar tersebut mencerminkan kapasitas dan kualitas yang selaras dengan pemiliknya. Kalau dibelakang nama seseorang ada gelar SH, Misalnya, maka bukan hal yang salah jika masyarakat mengasumsikan jika pemiliknya adalah orang yang menguasai hal ikhwal dan seluk beluk dalam bidang hukum. Demikian juga dengan gelar-gelar yang melekat didepan dan dibelakang nama seseoarang.
Kompetensi seseorang akan semakin lengkap manakala deretan gelarnya juga semakin panjang. Hal itu menunjukkan bahwa pemilik gelar tersebut adalah orang yang “Hobi sekolah” sehingga memperoleh gelar yang cukup banyak. Bayangkan saja, jika ada satu orang yang memiliki 2 gelar sarjana strata satu dan dua strada dua, berapa tahun yang harus dihabiskan untuk sekolah.?
Tetapi nampaknya kebanggaan terhadap gelar sekarang ini tengah mengalami degadasi. Gelar yang melekat belum tentu menjamin pemiliknya memiliki kompetensi yang sesuai dengan gelar yang dimilikinya. Sangat mungkin gelat tersebut hanyalah sebuah kebanggaan, namun tidak memiliki makna. Menempelkan gelar dibelakang atau didepan nama seseorang nampaknnya semakinkehilangan makna. Hal ini disebabkan karena sekarang ini semakin marak usaha-usaha komersialisasi gelar.
Apa yang bisa kita lakukan, bila hanya sekedar hanya bisa melihat dan tak bisa berbuat, karena sadar dengan status diri. Tak punya wewenang dan jabatan untuk sejenak menyuarakan kata hati.
Beberapa kenyataan yang terjadi dan berlangsung adalah pendidikan perguruan tinggi. Program kuliah seminggu sekali. Dengan tawaran waktu yang sesuai dengan keinginan konsumen. Tempat kuliyah nyaman dan tidak terikat dengan macam-macam tugas dan ujian kenaikan semester. Sangat cocok dengan nalar konsumen yang senang dengan hal instant. Asalkan seluruh biaya lunas dan tepat. Gelar yang sebelumnya menjadi harapan akan dapat ditempel dibelakang namanya, soal kualitas? Ada banyak yang mampu mengembangkan kapasitas dan kualitas dirinya. Tetapi tentu saja lebih banyak yang tidak mampu, minus tugas dan dukungan klim akademik yang memadai. Tidak ada buku-buku yang mendukung. Sehinga rasannya sulit meningkatkan kapasitas dan kapabilitas yang memadai dibandingkan dengan perkuliahan “yang sebenarnya” dikampus-kampus yang permanen.
Ada banyak kampus yang nampaknya semakin kian gencar melancarkan usaha merekrut mahasiswa-mahasiswa program S1 dan S2. jurusannya macam-macam. Mereka tidak hanya melakukan promosi secara pasif, tetapi juga secara aktif. Misalnya dengan melakukan kerja sama dengan pihak-pihak terkait. Hasilnya, kuliah bisa diatur. Jika kuliah “sebenarnya” mahasiswa harus datang ke kampus, dalam pola ini dosennya datang ke tempat yang telah disepakati. Semua serba mudah dan saling menguntungkan.
Modus kuliah-kuliah instant ini sangat beragam. Dari tingkatan S1, S2 dan diploma. Bahkan tidak jarang antar pengelola perguruan tinggi terlibat konflik karena sama-sama membuka kelas jauh didaerah yang sama. Jika mau menelisik ke daerah-daerah, menemukan kuliah-kuliah semacam ini bukan hal yang sulit. Ada sangat banyak kampus-kampus yang melaksanakan kuliah semacam ini.
Kondisi yang lebih para adalah jual beli gelar. Dan bukan main-main, yang dijual belikan adalah gelar tinggal pilih, Mulai M.Sc, MM, M.Pd, M.Si. MM.Pd. dan segala jenis gelar, termasuk doctor dan professor. Sangat luar biasa, peminatnya sangat luar biasa, sangat banyak yang tertarik dan menggunakan jasa ini. Untuk memperoleh gelar tersebut, cukup hanya membayar sekian juta, tanpa harus repot-repot belajar dan melakukan penelitian. Setelah itu, tinggal datang ke tempat yang telah ditentukan untuk menerima penganugrahan gelar.
Dalam kasus maraknya jual beli gelar, terdapat gejala baru pula dalam dunia pendidikan kita. Penurunan kualitas merupakan konsekuensi logis dari fenomena ini. Orang semakin mudah mendapatkan gelar akademika yang tanpa harus susah belajar dan berjuang untuk menyelesaikan studi. Kuncinya hanyalah uang. Dengan uang, gelar apapun yang akan dapat diperoleh dengan cepat. Kini, gelar telah menjadi “komoditas bisnis”. Lebih parah lagi, para pengelolah pendidikan tinggi telah terjangkit virus bisnis. Maka, dunia pendidikan kini telah terjerembab dalam kapitalisme pendidikan.
Cara berfikir yang mengedepankan jalan pintas nampaknya telah menjadi bagian yang erat dalam kehidupan masyarakat kita. Hampir seluruh aspek kehidupan sekarang ini mendorong orang untuk menempuh jalan semacam ini. Mungkin ada orang yang bertahan dalam iklim idealis, tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak. Banyak secara sistemik kondisinya memang memaksa orang untuk menjadi seorang yang masuk dalam lingkaran jalan pintas, mungkin dirasa. Proses yang sedang dijalani didalam kampus “yang sebenarnya” tak lagi dipandang berkualitas. Misalnya, muatan study yang dilakukan tak ada isi, atau justru dosen pengajar tak mampu memahami gejala yang terjadi?. Yang bisa menjawab adalah diri kita masing-masing, bagaimana yang kita rasakan dalam proses studi dikampus dan bagaimana muatan materi yang disampaikannya,baik dalam isi materi atau justru cara penyampaian dosen.  Semoga kita mampu memahami semua realitas yang ada.
Beratnya kuliah sudah bukan rahasia lagi, walaupun menjalani kuliah tidak harus dengan sangat serius. Jika dijalani dengan santai, dan tugas-tugas dikerjakan secara baik, maka beban berat kuliah akan berlalu. Kuncinya memang dengan bagaimana menjalani kuliyah dengan kegembiraan, bukan dengan keterpaksaan. Namun demikian, banyak juga yang tidak tahan dengan duduk dibangku kuliah dalam jeda waktu sekian tahun. Kuliah terasa begitu berat dan menyiksa.

Waheb abdellah@2011
 
Nalar Egoisme 

Siapa yang paling menentukan terhadap pilihan sekolah seorang anak. Hampir pasti jawaban yang dominan adalah orang tua. Bisa dikatakan bahwa orang tua adalah pihak yang paling menentukan terhadap jenis sekolah dan pilihan jurusan anak. Memang ada orang tua yang memberi kebebasan kepada anak untuk menentukan sekolah, tetapi kebanyakan pilihan tersebut juga berada dalam aturan orang tua. Atau kalau tidak, pilihan tersebut diberikan secara terpaksa karena anak memang memaksa.
Orang tua memang pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kehidupan anaknya, termasuk dalam hal pendidikan. Wajar saja jika orang tua memberikan pilihan terhadap anaknya, terutama dalam persoalan pendidikan. Sebab orang tua yang membiayai pendidikannya. Selain itu pengalaman hidup orang tua juga jauh lebih luas, mereka juga meiliki harapan agar kehidupan anaknya dimasa depan yang cerah. Berdasarkan pada pertimbangan inilah orang tua kemudian menjadi pihak yang sangat menentukan dalam kehidupan anak-anaknya, termasuk dalam menentukan pilihan sekolah.
Tentu ada yang salah dalam persoalan ini, terutama jika pilihan orang tua dalam memilihkan pendidikan anak-anaknya memang sesuai dengan bakat, minat, dan juga keinginan anak-anaknya, justru disini peran orang tua sangat efektif dan makin mengukuhkan pengembangan potensi anknya. Tetapi tidak jarang kita temui ada orang tua yang tidak memperhatikan terhadap minat, keinginan, dan bakat anaknya. Tidak ada ruang diskusi dan negosiasi antara orang tua dengan anak dalam menentukan pilihan sekolah, disini orang tua adalah pihak penentu, dan anak adalah pihak yang harus menjalani ketentuan tersebut. Apa yang telah dipilih oleh orang tua harus diikuti oleh anak.
Nampaknya, inilah kondisi yang banyak kita temukan disekitar kita. Ada anak yang bakatnya elektronika, tetapi orang tua tidak memasukkan anaknya sekolah dijurusan yang mampu menumbuhkembangkan potensi anaknya, terkadang orang tua tidak ingin tau dengan potensi yang dimiliki oleh anaknya, sehingga bakat yang sebelumnya bida lebih dikembangkan harus mati dengan kebijakan yang di ambil oleh orang tua.
Ada cukup banyak contoh lain tentang betapa sering pilihan pendidikan orang tua tidak selaras dengan pilihan dan kemauan anak-anaknya. Ego sebagai orang tua cenderung lebih mendominan dalam memaksakan daripada berdiskusi. Tentu akan lebih elok dan sangat menarik apabila anak diajak untuk berdiskusi dan melakukan analisis terhadap pilihan sekolahnya. Dengan cara semacam ini, anak akan memiliki pilihan dengan pertimbangan yang matang. Bukan sekedar memilih tanpa memikirkan potensi dan keinginan anak.
Banyak anak yang menjadi korban pendidikan karena factor orang tua. Oleh Karena itu, wajar jika pola yang mendahulukan nalar egois ini banyak dikritik. Bukan untuk menyalakan orang tua tetapi lebih pada bagaimana memberikan pilihan yang lebih arif dan dapat dipahami oleh orang tua dan anak secara lebih baik. Pola yang tidak memberikan ruang diskusi dan memaksakan sekolah kepada  anak justru membuka kemungkinan bagi tereduksi, atau bahkan matinya potensi yang dimiliki anak.
Dalam kaitananya dengan persoalan ini, kita belajar dari kasus film dead Poets Society. Film yang sarat makna pencerahan terhadap dunia pendidikan. Satu hal yang menarik yang terselip dalam kisahnya adalah tentang kuatnya dominasi orang tua. banyak orang tua yang sangat apresiatif terhadap dunia anaknya. Sebaliknya tidak sedikit juga orang tua yang acuh terhadap dinamika psikologis anaknya. Bagi kalangan orang tua semacam ini, tolok ukur kebaikan seorang anak adalah tatkala anak mau turut, patuh, dan pendiam atas apa yang diperintahkan orang tua.
Konidisi ini bukanlah suatu hal yang jelek. Tetapi tidak semua anak bisa dikondisikan yang semacam ini, hal penting yang seharusnya di tumbuhkembangkan oleh orang tua adalah pengembangan kepribadian kreatif, bukan kepribadian yang patuh dan pendiam. Kepribadian yang kreatif meliputi kelancaran berfikir, keterampilan berpikir, keterampilan mengurai serta mengevaluasi. Ketika kepribadian semacam ini telah mampu ditumbuh kembangkan secara baik, maka akan lahir anak yang memiliki karakteristik sebagai orang yang kreatif. Adapun ciri- ciri orang yang kreatif adalah percaya pada diri sendiri secara intelektual, ketidak tergantungan terhadap orang lain, penuh energi dalam tugas intelektual, dan menghasilkan penyelesaian masalah dengan ide-ide cemerlang dan asli.
Dalam usaha mewujudkan anak-anak yang kreatif, keluarga memang posisi sebagai inti peletak dasar keribadian anak. Dalam proses pendidikan anak untuk memahamai konsep kreativitas maka anak perlu didikan dengan model sentuhan sentuhan personal-individual maupun sosial. Harus ditumbuhkan kepada anak untuk memahami dan menyadari potensi diri sehingga dapat dikembangkan secara tepat guna, dengan menyadari sikap diri dan pengembangan sikap positif secara tidak langsung, anak juga akan mampu memahami potensi teman lainnya yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara positif untuk mencapai tujuan bersama.
Untuk itu, anak yang kreatif harus mampu berinteraksi dengan orang lain, memiliki kepekaan terhadap semua kebutuhan orang lain, dan mengetahui bagaimana mendaya gunakan orang lain dalam pencapaian tujuan bersama dan kelompok. Ini hanya dapat terwujud dengan menanamkan dalam diri anak sejak usia dini.


Kesadaran Paradigmatik; Menuju Pendidikan Pluralisme – Pembebasan]
Lamongan, 7 April 2010

Pendidikan merupakan term terpenting dan menentukan dalam perubahan masyarakat. Bahkan Islam sendiri menempatkan pendidikan dalam posisi vital. Bukan sebuah kebetulan jika dalam lima ayat pertama dimulai dengan perintah membaca. Tak heran jika dalam syiar yang dikembangkan nabi Muhammad dilakukan dengan pendekatan pendidikan.

Gagasan utama pendidikan, termasuk pendidikan Islam, terletak pada pandangan bahwa setiap manusia mempunyai nilai positif tentang kecerdasan, daya kreatif, dan keluhuran budi. Namun fokusnya bukan semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid tetapi juga akhlak sosial dan kemanusiaan. Kualitas akhlak pun tak bisa dicapai hanya dengan doktrin halal-haram, tapi usaha budaya dari rumah, masyarakat dan ruang kelas

Tuhan yang merupakan fokus tertinggi dari kehidupan beragama tetap dipahami menjadi basic dalam segala bentuk kehidupan. Ia semestinya dimaknai sebagai bagian universal yang bersifat transenden. Ia merupakan titik esoteris (batiniyah) yang dimiliki masing-masing agama, biarpun dalam sisi eksoteris Tuhan memberikan pesan-pesan untuk kelompok-kelompok yang berbeda. Namun mesti dipahami pula, bahwa pesan-pesan Tuhan yang disampaikan dalam perbedaan dimensi ruang dan waktu tersebut mempunyai kesamaan dalam term besar; iman kepada sesuatu yang transenden (Tuhan) dan menjaga sisi-sisi kemanusiaan sebagai bagian dari urusan agama.

Sementara itu realitas menunjukkan keadaan masyarakat yang ditentukan oleh paradigma-paradigma dalam kehidupan pendidikan mereka. Dalam peta idiologi Giroux, sebagaimana dikutip Masur Fakih, ada tiga paradigma yang berpengaruh dalam dunia pendidikan

Pertama, paradigma konservatif. Pemahaman yang dipakai dalam paradigma ini menganut pada satu ketentuan sejarah (baca: takdir). Fenomena dipahami sebagai satu keharusan yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam bentuknya yang klasik terdapat keyakinan bahwa masyarakat tidak tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhan yang dapat melakukan menentukan perubahan. Namun pada masa selanjutnya, paradigma ini lebih menekankan pada pelestarian tradisi serta kebudayaan yang ada, tanpa mengurangi, mengkritik, memperbaiki, apalagi merubah. Lebih jauh, pemahaman tentang keadaan seseorang (baca: nasib) lebih diakibatkan oleh kesalahan dirinya sendiri: miskin karena tidak bekerja, bodoh karena tidak belajar, dan lain sebagainya.

Kedua, paradigma liberal. Di tingkat ini, pemahaman tentang fenomena sosial termasuk perubahan yang ada di dalamnya lebih dikarenakan usaha-usaha yang dilakukan manusia. Secara individu yang kemudian akan menciptakan satu tatanan baru yang penuh kompetisi sehingga dinamis dalam masyarakat. Karenanya dalam salah satu aliran liberalisme, sructural fungsionalism, pendidikan lebih diutamakan sebagai penstabilan norma dan nilai masyarakat. Namun pendidikan di tingkat ini masih dianggap a-politis. Artinya, pendidikan tidak digunakan sebagai upaya untuk membangun satu tatanan masyarakat secara struktur global. Dalam pandangannya Excellence (keunggulan) adalah hal utama dalam pendidikan bukan yang lain. Sehingga tidak heran, jika dalam dimensi ini prestasi individu sangat lekat dan ditekankan, termasuk pembekalan secara individu untuk mengangkat derajat material (material oriented dalam pendidikan). Maka, jika nanti ada satu orang atau kelompok yang merasa terdeskriminasi atau kalah bersaing, itu adalah kesalahannya sendiri.

Ketiga, paradigma kritis. Pendidikan dalam paradigma ini dipahami sebagai arena perjuangan politik. Artinya, struktur masyarakat dalam sebuah negara dapat diatur dan diubah melalui pendidikan. Atau dengan kata lain, pendidikan adalah sebagai alat politik. Tujuan yang hendak dicapai oleh aliran ini adalah menghendaki adanya ruang kritis secara bebas terhadap struktur sosial dan ekonomi yang ada dalam masyarakat. Dalam perspektif kritis, pendidikan diarahkan untuk mengurusi tindakan kritis terhadap the dominant idiology, menuju transformasi sosial.

Penggunaan paradigma ketiga inilah yang menjadi pijakan dasar dalam melakukan perubahan. Kesadaran bahwa realitas sosial tidak terbentuk secara tiba-tiba tetapi akibat dari sebuah skenario dari penguasa. Kebijakan-kebijakan yang dibuat lembaga negara sebagai manifenstasi penguasa wilayah seringkali dibuat demi kepentingan penguasa bukan diorientasikan pada rakyat.

Di sisi lain, peran negara pun tidak serta merta muncul tanpa ada peranan pihak lain. Ada peran modal / pasar yang mempunyai kepentingan ekonomi dalam kebijakan dan skenario itu. Sementara ia butuh perluasan pasar, negara membutuhkan modal untuk melaksanakan kebijakan dan melanggengkan kekuasaan. Sehingga pada tahap selanjutnya terjadi persenggamaan modal dan kekuasaan.Manifentasi dari persenggamaan ini adalah paradigma liberal seperti yang telah disebutkan diatas.

Individualisme, konsumerisme, kompetisi telah meniscayakan ekses sendiri dalam masyarakat. Sikap eksklusif dengan membesar-besarkan perbedaan lebih ditonjolkan dalam interaksi sosial. Tak heran jika kerap terjadi kerusuhan dan konflik dalam masyarakat, sementara pihak lain mengambil kesempatan untuk menuai hasil.

Pendidikan, termasuk pendidikan Islam, dalam posisi ini semestinya diarahkan untuk membangun keterlibatan aktif dengan kelompok lain untuk bertoleransi, memahami, serta membangun dan memperkaya keragaman dalam komunitas global adalah pengertian pluralisme yang lebih mendalam.

Dalam perkembangannya, pendidikan pluralisme (atau sebagian orang menyebutnya pendidikan multikultural) inipun tidak seluruhnya bersifat netral. Pendidikan pluralisme, menurut Nur Kholik Ridwan, bisa jadi hanya menjadi dalih dominasi kelompok untuk membangun lanskap netralitas nilai dan membawa publik pada pencerapan kolektif hidup berdampingan yang tak diperjelas persoalan-persoalan dasarnya. Moralitas yang dibangun hanya menjadi upaya pembungkaman oleh kelompok dominan (borjuis) untuk melakukan penindasan.

Untuk itu Ainurrofiq Dawam memberikan kerangkan orientasi pendidikan pluralisme atau pendidikan multikultural agar pendidikan tersebut tidak kehilangan arah dan dibangun berdasarkan orientasi nilai dasar multikulturalisme, yaitu:

Pertama, orientasi kemanusiaan. Kemanusiaan atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusiaan bersifat universal, global, di atas semua suku, aliran, ras, golongan, dan agama. Dengan demikian institusi pendidikan yang dibangun pun tidak bersifat eksploitatif, mendominasi, kompetisi sebebas-bebasnya. Orientasi yang demikian memunculkan manusia yang humanis tanpa kehilangan jati dirinya.

Kedua, orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang sama sekali lepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang tidak merugikan diri sendiri, orang lain, lingkungan, negara, bahkan Tuhannya. Dengan demikian diharapkan muncul manusia yang aktif, kreatif, toleran, tenggang rasa yang mendalam, dan terbuka.

Ketiga, orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan yang dimaksud disini adalah kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Konsistensi terhadap kesejahteraan harus dibuktikan dengan perilaku menuju terciptanya kesejahteraan. Kesejahtraan yang dimaksud bukan terjebak dalam pemenuhan kebutuhan materi yang berlebih dan sama banyaknya oleh semua orang. Melainkan yang menjadi orientasi adalah bahwa masyarakat secara sadar dan tidak dipaksa mengatakan bahwa dirinya telah sejahtera, dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar, dihargai, dan diakui oleh orang lain. Konsekwensi yang kemudian terjadi adalah adanya kedamaian dimana semua orang merasa aman, dihargai, diakui, dan diperlakukan sebagai manusia oleh semua pihak yang berinteraksi secara langsung atau tidak langsung.

Keempat, orientasi proporsional. Proporsional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan. Ketepatan disini tidak diartikan sebagai ketepatan yang bersifat rigid dalam arti hanya menggunakan salah satu pertimbangan, misalnya pertimbangan kualitas intelektual, atau kuantitasnya, melainkan ketepatan yang ditinjau dari semua sudut pandang, khususnya yang ersifat langsung dengan nilai proporsional. Orientasi pendidikan inilah yang diharapkan menjadi pilar pendidikan multikultural.

Kelima, orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. Pluralitasn dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasih dengan memunculkan sikap faatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh sekelompok orang.

Keenam, orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. Dominasi dan hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Istilah ini dihindari jauh-jauh oleh para pengikut faham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Hegemoni yang dimaksud adalh hegemoni dalam segalanya; politik, pelayanan dan lain sebagainya.

Dengan demikian, pendidikan yang merupakan tonggak perubahan masyarakat, semestinya msti diawali dengan reparadigmatisasi menuju pemberdayaan rakyat. Pluralisme, pembebasan, kritisisme, keadilan mestilah dijadikan landasan dalm pergerakannya. Mengubah masyarakat yang telah ‘sakau’ dengan modernitas bukan tugas yang mudah dan cepat. Tetapi butuh sense of social construction yang memadai di samping waktu yang cukup lama. Dan ini merupakan tugas seluruh generasi bangsa.

Selamat Datang, Sugeng Rawuh, Welcome To My Blog's Waheb Abdellah Maduran Lamongan East Java

Wahida@13 April 2011. Diberdayakan oleh Blogger.